Sabtu, 02 Januari 2021

Benarkah Sistem Monarki Tidak Diakui Islam?


Oleh : Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Habib bin Salim berkata, “Dari Nu’man ibn Basyir, beliau berkata, ‘Kami pernah duduk-duduk di masjid bersama Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan diantara kami ada Basyir dan dia adalah seorang yang suka menahan hadits Nabi (akan dijelaskan maksudnya insya Allah –pent). Kemudian datanglah Abu Tsa’labah Al Khusyanniy, dan berkata, ‘Wahai Basyir ibn Sa’ad, apakah engkau menghafal hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang para penguasa? Maka berkata Hudzaifah, ‘Aku hafal khutbah beliau’.

Maka duduklah Abu Tsa’labah, dan berkata Hudzaifah, ‘Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Di tengah kalian ada masa kenabian, dengan kehendak Allah masa itu ada, kemudian Dia hilangkan masa itu sesuai kehendakNya. Kemudian datanglah masa khilafah di atas manhaj kenabian, terjadilah masa itu sesuai kehendak Allah akan terjadinya. Kemudian masa itu hilang apabila Dia berkehendak untuk menghilangkannya. Kemudian datanglah masa raja yang mengigit, maka terjadilah masa itu sesuai kehendak Allah akan terjadinya, lalu masa itu akan hilang apabila Dia berkehendak untuk menghilangkannya. Lalu datanglah masa raja yang memaksa, terjadilah masa itu sesuai kehendak Allah akan terjadinya, dan masa itu akan hilang apabila Dia berkehendak untuk menghilangkannya. Lalu datanglah masa khilafah di atas manhaj kenabian, setelah itu beliau diam.’



Berkata Habib, ‘Maka ketika Umar bin Abdul Aziz memerintah dan Yazid ibn Nu’man ibn Basyir menjadi pendampingnya, aku pun menulissurat kepadanya dan menyebutkan hadits ini, aku berkata, ‘Aku berharap dia menjadi Amirul Mukminin, yaitu Umar ibn Abdul Aziz, setelah masa kerajaan yang menggigit kemudian memaksa, maka dibawalah masuk suratku kepada Umar ibn Abdul Aziz dan beliau pun senang dan mengaguminya” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid ke 30 halaman 355 dengan nomor 18406, dan dinilai hasan oleh pentahqiq kitab ini Syaikh Syu'aib Al Arnauth).

Mengenai hadits ini terdapat beberapa permasalahan :

    Perkataan beliau, “Basyir adalah seorang yang suka menahan hadits” yaitu sedikit haditsnya dan ia suka menahan diri dari berbicara, mencegah dirinya dari menyampaikan hadits.
    Perkataan beliau, “Kemudian datanglah masa khilafah di atas manhaj kenabian, terjadilah masa itu sesuai kehendak Allah akan terjadinya. Kemudian masa itu hilang apabila Dia berkehendak untuk menghilangkannya”, khilafah yang dimaksud ialah kekhilafahan yang empat. Telah disebutkan dalam hadits dari Sa’id ibn Jumhan, beliau berkata, “Telah menceritakan kepadaku Safinah, ia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kekhilafahan di tengah umatku berlangsung selama 30 tahun, kemudian akan tiba masa kerajaan setelahnya’. Kemudian Sa’id berkata, ‘Safinah berkata kepadaku, ‘Hitunglah (kekhilafahan Abu Bakar selama 2 tahun, Umar 10 tahun, Utsman 12 tahun, Ali 6 tahun, maka kita dapati masa 30 tahun –pen)”. Sa’id kemudian berkata, ‘Aku berkata kepada Safinah, ‘Sesungguhnya Bani Umayyah menyangka bahwa kekhilafahan ada pada mereka (yaitu mereka menganggap bahwa ‘Ali tidak berhak menjadi khilafah)? Ia menjawab, ‘Bani Zarqa’ telah berdusta (maksudnya Bani Marwan), bahkan mereka adalah sejelek-jelek raja” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4647 dan At Tirmidzi 2226)
    Perkataan beliau, “Kemudian datanglah masa raja yang mengigit, maka terjadilah masa itu sesuai kehendak Allah akan terjadinya, lalu masa itu akan hilang apabila Dia berkehendak untuk menghilangkannya”, berkata penulis An Nihayah fii Ghariib Al Atsar (3/494), “(Yang dimaksud dengan menggigit –pent) yaitu pemerintahan mereka diktator dan zhalim seakan-akan mereka menggigit. Adapun kata al ‘adhuudh (dalam redaksi hadits yang lain –pent) adalah diantara bentuk mubalaghah (penegasan) dari menggigit”
    Perkataan beliau, “Lalu datanglah masa raja yang memaksa, terjadilah masa itu sesuai kehendak Allah akan terjadinya, dan masa itu akan hilang apabila Dia berkehendak untuk menghilangkannya” Dalam Syarh Al Misykat berjudul Al Kasyif ‘an Haqaaiq As Sunaan (11/3399) disebutkan, “Yaitu penakluk dan tiran. Dikatakan, ‘Jabbaar yaitu sifat antara tirani dan diktatorisme”
    Perkataan beliau, “Lalu datanglah masa khilafah di atas manhaj kenabian, setelah itu beliau diam.’ Berkata Habib, ‘Maka ketika Umar bin Abdul Aziz memerintah dan Yazid ibn Nu’man ibn Basyir menjadi pendampingnya, aku pun menulis surat kepadanya dan menyebutkan hadits ini, aku berkata, ‘Aku berharap dia menjadi Amirul Mukminin, yaitu Umar ibn Abdul Aziz, setelah masa kerajaan yang menggigit kemudian memaksa, maka dibawalah masuk suratku kepada Umar ibn Abdul Aziz dan beliau pun senang dan mengaguminya”. Ibn Rajab rahimahullah berkata mengenai hadits ini dalam Jaami’ul Uluum wal Hikam, dalam penjelasan beliau mengenai hadits ke-28, “Banyak dari para imam berdalil dengan hadits ini bahwasanya Umar ibn Abdul Aziz juga termasuk dalam Khilafah Rasyidah. Dalilnya ialah hadits yang dikeluarkan Imam Ahmad dari hadits Hudzaifah (dan telah disebutkan di atas –pent)”.
    Mengenai apa yang telah disebutkan dalam hadits yaitu adanya istilah : khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah di atas metode kenabian), raja yang menggigit, raja yang memaksa, dan telah dibenarkan pemaknaan ini dari hadits yang dikeluarkan Al Bukhari dengan nomor 7222 dan Muslim nomor 1821 dari Jabir ibn Samurah beliau berkata, “Aku masuk bersama ayahku menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, aku mendengar beliau bersabda, ‘Sesungguhnya perkara ini (kekhilafahan) tidak akan musnah sampai berlalu atas mereka 12 khalifah’ kemudian beliau berbicara dengan pelan dan aku bertanya pada ayahku, ‘Apa kata beliau?’, ayahku menjawab, “Semuanya dari suku Quraisy”.Dan dalam riwayat Muslim, “Senantiasa Islam dalam keadaan kuat sampai berlalu 12 khalifah” dan riwayat lain, “Senantiasa agama ini dalam keadaan kuat dan tidak terkalahkan sampai berlalu 12 khalifah”. Dalam riwayat Abu Dawud (4279), “Senantiasa agama ini akan tegak sampai berlalu atas kalian 12 khalifah, umat semuanya bersepakat atas mereka”.

    Ibn Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (13/214) menjelaskan, “Maksudnya ialah bersepakat untuk tunduk membai’at mereka, yang terjadi ialah manusia bersepakat atas Abu Bakr, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian ‘Ali sampai terjadi peristiwa dua hakam dalam pertempuran Shiffin, kemudian Muawiyyah bin Abi Sufyan pada hari itu digelari dengan khalifah, kemudian manusia bersepakat atas Muawiyyah setelah adanya rekonsiliasi dari Al Hasan, kemudian bersepakat atas anaknya, Yazid, setelah Al Husain gagal mengumpulkan kekuatan bahkan terbunuh sebelum hal itu terjadi. Lalu setelah meninggalnya Yazid terjadilah perselisihan sampai bersepakatnya kaum muslimin atas (kekhilafahan) Abdul Malik bin Marwan setelah terbunuhnya Ibn Az Zubair, kemudian mereka bersepakat atas keempat anaknya : Al Walid, Sulaiman, Yazid, kemudian Hisyam. Dan diantara Sulaiman dan Yazid terdapat Umar bin Abdul Aziz, maka jadilah mereka tujuh khalifah setelah Khulafaa’ur Raasyidiin, dan khalifah yang ke-12 ialah Al Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang kaum muslimin bersepakat mengangkatnya setelah kematian pamannya Hisyam, kemudian ia berkuasa selama sekitar 4 tahun. Kemudian timbul pemberontakan dan ia terbunuh, tersebarlah fitnah dan berubahlah kondisi sejak hari itu. Tidak ada lagi kesepakatan umat atas khalifah setelah itu karena pemerintahan Yazid bin Al Walid yang berkuasa menggantikan sepupunya Al Walid bin Yazid tidak berlangsung lama, bahkan timbul pemberontakan hingga kematiannya oleh anak dari paman ayahnya yaitu Marwan ibn Muhammad ibn Marwan.

    Setelah kematian Yazid, saudaranya yaitu Ibrahim berkuasa, lalu dikalahkan oleh Marwan. Kemudian Marwan dikudeta oleh Bani Al Abbas hingga ia terbunuh, kemudian mulailah masa pemerintahan Khilafah Bani Abbas dari mulai Abul Abbas As Saffah, dan tidak berlangsung lama karena banyaknya pemberontakan dan setelah itu saudaranya, Al Manshur berkuasa dalam waktu lama. Akan tetapi terjadi pemberontakan di ujung barat oleh dinasti Marwan atas Andalusia, dan berhasil meraih kemenangan hingga mereka menamakan diri Khilafah. Kemudian setelah itu terpecahlah perkara kekhilafahan di seluruh penjuru dunia hingga tidak ada lagi khilafah kecuali sekedar namanya saja di sebagian negeri. Hal itu terjadi setelah dulunya pada masa pemerintahan Bani Abdul Malik bin Marwan seluruh penjuru dunia dari timur hingga ke barat, utara hingga ke selatan, pernah ditaklukkan oleh kaum muslimin dan diseru kepada kekhilafahannya. Pada waktu itu tidak ada kekuasaan satupun di seluruh negeri selain pemerintahan khilafah. Barangsiapa yang pada waktu itu menyaksikan kondisi tersebut niscaya akan membenarkan sabda beliau (tentang kejayaan Islam di masa 12 khalifah –pent). Kemudian setelah itu terjadilah masa sulit yaitu peperangan, fitnah, kekuasaan yang otoriter dan terus menerus bertambah sulit dari masa ke masa. Wallaahu musta’an”
    Sah dan diakuinya kekuasaan raja secara turun temurun atas suatu pemerintahan. Inilah sistem monarki, sebagaimana Anda lihat pada dinasti Umayyah, dan makna hadits juga menunjukkan sahnya kekuasaan mereka.
    Diakuinya pemerintahan kerajaan yang zhalim, menggigit, diktator, dan tiran. Dan bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam membenarkan sistem monarki mereka dan tidak menolaknya (yang Nabi ingkari hanya sifat zhalim, mengigit dan diktator, ed.).
    Bahwasanya tidak diperbolehkan keluar dari ketaatan (memberontak) kepada mereka (para raja), yang wajib adalah bersabar atas ketidakadilan dan kezhaliman mereka, berpegang pada fakta bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wa sallam telah menetapkan kekuasaan mereka walaupun mereka tidak adil lagi zhalim! Juga (meneladani) perbuatan para shahabat, semoga Allah meridhai mereka semua dan para imam dalam Islam. Oleh karena itu tidak dibenarkan mengajak manusia untuk keluar dari ketaatan pada mereka (para raja yang saat ini memerintah –pent), atau mengatakan, “Sesuatu yang diambil dengan paksa harus dikembalikan dengan paksa pula!” Ini adalah dakwah yang menyeru pemberontakan kepada penguasa, dan perbuatan ini menyelisihi ketetapan ahlus sunnah wal jamaah. Meskipun penguasa tersebut adalah zhalim lagi berlaku tidak adil, wajib untuk bersabar atas ketidakadilan mereka, mendengar, dan menaati mereka selama bukan dalam hal maksiat, kezaliman maupun dalam ketidakadilan itu sendiri. Di sisi Allah-lah semua janjiNya!
    Bahwasanya tidak dibenarkan membawa suatu hadits bukan pada tempat yang dimaksudkan oleh perawi hadits dan para ulama. Anda telah mendengar sebagian dari mereka –semoga Allah memberi petunjuk– menyebutkan hadits ini dan membawanya kepada realita di tengah manusia, untuk memberi mereka kabar gembira, atas apa yang disebut dengan sebutan yang palsu dan tertolak : “Arab Spring” (musim semi Arab, merujuk pada gelombang revolusi di Arab pasca jatuhnya rezim Ben Ali di Tunisia pada Desember 2010 lalu –pent)
    Penyebutan para ulama tentang sifat raja yang menggigit, memaksa, tidaklah berkonsekuensi tidak sah dan tidak diakuinya kekuasaan mereka. Demikian pula adanya keterangan para ulama hadits tentang Bani Umayyah, bahwasanya kerajaan mereka diwariskan secara turun temurun, kecuali Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (yang merupakan sepupu Sulaiman bin Abdul Malik –pent), tentang adanya penyimpangan, kezhaliman, dan ketidakadilan para raja Bani Umayyah, semuanya itu tidaklah mengurangi keabsahan kekuasaan mereka.
    Hadits ini termasuk diantara tanda benarnya nubuwwah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, karena beliau telah mengabarkan perkara ghaib dan perkara itu benar-benar telah terjadi, alaihis shalaatu was salaam.

Diterbitkan pada tanggal 28/11/1435 Hijriah

Sumber : http://goo.gl/CDq6Lh



Penerjemah: Yhouga Pratama A.
Artikel Muslim.Or.Id
Diedit dengan sedikit tambahan screenshoot kitab hadits oleh Yusuuf Arifin




Selasa, 08 Desember 2020

Kesyirikan Paling Pertama di Dunia

       Dalam hadis yang sangat panjang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kejadian yang dialami manusia ketika di padang mahsyar. Dalam penggalan cerita itu, manusia berbondong-bondong mendatangi Nuh agar beliau berdoa kepada Allah. Mereka mengatakan,

يَا نُوحُ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ وَقَدْ سَمَّاكَ اللَّهُ عَبْدًا شَكُورًا اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ

     Wahai Nuh, anda rasul pertama di muka bumi. Allah menggelari anda dengan hamba yang pandai bersyukur, berikanlah syafaat untuk kami di hadapan Rabmu…

Namun Nabi Nuh kala itu tidak bersedia, karena alasan tertentu. Kemudian beliau mengarahkan agar mendatangi Nabi Ibrahim. (HR. Ahmad 9873, Bukhari 3340, Muslim 501 dan yang lainnya).

Kedua, mengapa Nuh sebagai rasul pertama?

Jika Nuh rasul pertama, bagaimana dengan Adam?

Adam manusia pertama sekaligus nabi, namun beliau bukan rasul. Beliau menerima wahyu dari Allah, untuk diri beliau dan semua orang yang ada di sekitar beliau. Dan mereka semua dalam kondisi beriman, sekalipun ada diantara mereka yang melakukan dosa.

Sementara diantara ciri rasul, mereka Allah utus untuk menghadapi kaum yang menyimpang dan keluar dari islam karena pelanggaran kesyirikan. Seperti yang dialami kaum nabi Nuh ‘alaihis salam.

Ketiga, antara Adam dan Nuh, belum ada kesyirikan

Jarak antara Nuh dan Adam ada 10 generasi. Sebelum Nabi Nuh diutus, tidak ada satupun manusia yang berbuat syirik dan kufur kepada Allah.

Keterangan ini disampaikan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,

كان بين نوح وآدم عشرة قرون، كلهم على شريعة من الحق. فاختلفوا، فبعث الله النبيين مبشرين ومنذرين.

Antara Nuh dan Adam ada 10 generasi. Mereka semua berada di atas syariat yang benar. Kemudian mereka saling berselisih. Kemudian Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi gambar gembira dan kabar peringatan. (HR. At-Thabari dalam Tafsirnya no. 4048).

Allah mengutus Nuh ketika ada sebagian manusia yang berbuat kesyirikan, karena itulah, beliau menjadi rosul pertama.

Keempat, berhala di masa Nuh, mewakili orang soleh yang diagungkan kaum mereka

Allah menceritakan upaya pembelaan kaum Nuh terhadap berhala mereka,

قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا . وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا. وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

       Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, (21) dan melakukan tipu-daya yang amat besar”. (22) Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (QS. Nuh: 21 – 23).

Siapakah berhala-berhala ini?

Ibnu Abbas menjelaskan,

أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِى كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا ، وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ

      Mereka adalah nama-nama orang soleh di kalangan kaumnya Nuh. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kaumnya untuk membuat prasasti di tempat-tempat peribadatan orang soleh itu. Dan memberi nama prasasti itu sesuai nama orang soleh tersebut. Merekapun melakukannya. Namun prasasti itu tidak disembah. Ketika generasi (pembuat prasasti) ini meninggal, dan pengetahuan tentang prasasti ini mulai kabur, akhirnya prasasti ini disembah. (HR. Bukhari 4920).

Dari pemaparan di atas bisa kita simpulkan,

    -Kesyirikan pertama terjadi di zaman Nabi Nuh ‘alahis shalatu was salam
    -Karena adanya kesyirikan ini, Allah mengutus Nabi Nuh sebagai rasul pertama
    -Sebab terjadi kesyirikan pertama di bumi adalah karena mengagungkan orang soleh yang telah meninggal.

     Ini menunjukkan betapa bahayanya mengkultuskan orang soleh. Berawal dari kultus, kemudian orang menyembah orang soleh itu. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang semua sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Karena sikap ghuluw, sumber bencana umat manusia dari zaman ke zaman.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ

Hindari sikap ghuluw dalam masalah agama. Karena yang membinasakan umat sebelum kalian adalah ghuluw dalam masalah agama. (HR. Nasai 3070, Ibnu Majah 3144, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Kamis, 11 Januari 2018

Adab Terhadap Al-Qur'anul Karim

Gambar terkait

Seorang Mukmin meyakini bahwa al-Qur’ân adalah kalâm (perkataan; ucapan) Allah Azza wa Jalla . Huruf dan maknanya bukanlah makhluk, serta diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wsasallam . Al-Qur’ân adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ân adalah sebaik-baik dan sebenar-benar perkataan, tidak ada kedustaan padanya, baik pada saat diturunkan maupun sesudahnya. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Qur’ân, maka perkataannya benar; dan barangsiapa menghukumi dengannya, maka hukumnya adil. Barangsiapa mengikutinya, ia akan menuntun menuju surga, dan barangsiapa membelakanginya, ia akan menyeretnya menuju neraka.

Oleh karena itu, seorang Muslim yang baik selalu beradab terhadap al-Qur’ân dengan adab-adab yang utama, di antaranya:

1. IMAN KEPADA AL-QUR’AN
Ini adalah adab dan kewajiban terbesar. Beriman kepada al-Qur’ân artinya meyakini segala beritanya, mentaati segala perintahnya, dan meninggalkan segala larangannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:136]
Ini adalah perintah Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang beriman untuk meluruskan iman mereka, yaitu dengan keikhlasan dan kejujuran iman, menjauhi perkara-perkara yang merusakkan iman, dan bertaubat dari perkara-perkara yang mengurangi nilai iman. Demikian juga agar mereka meningkatkan ilmu dan amalan keimanan. Karena, setiap nash yang tertuju kepada seorang Mukmin, lalu dia memahami dan meyakininya, maka itu termasuk iman yang wajib. Demikian juga seluruh amalan yang lahir dan batin termasuk iman, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash yang banyak dan disepakati oleh Salafush Shalih.
Di sini terdapat perintah untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, al-Qur’ân, dan kitab-kitab terdahulu. Beriman kepada hal-hal di atas hukumnya wajib dan seorang hamba tidak menjadi orang yang beriman kecuali dengannya, yaitu beriman secara menyeluruh dalam perkara yang perinciannya tidak sampai kepadanya, dan secara rinci dalam perkara yang perinciannya sudah sampai kepadanya. Maka barangsiapa beriman dengan keimanan ini, dia telah mengikuti petunjuk dan sukses.[1]

2. TILAWAH (QIRA’ATUL QUR’AN)
Sesungguhnya membaca al-Qur’ân merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits shahîh yang menunjukkan hal ini. Namun sayang, banyak umat Islam di zaman ini yang lalai dengan ibadah ini, baik karena sibuk dengan urusan dunia, karena lupa, atau lainnya. Ketika seseorang mendapatkan kiriman surat dari saudaranya, kawannya, keluarganya, atau kekasihnya, dia akan bersegera membukanya karena ingin mengetahui isinya. Namun, bagaimana bisa seorang Muslim tidak tergerak untuk membaca surat-surat al-Qur’ân yang datang dari penciptanya, padahal surat-surat al-Qur’ân itu semata-mata untuk kebaikannya?

Sebagian orang membaca al-Qur’ân, tetapi dengan tergesa-gesa atau dengan cara yang cepat, seolah-olah sedang diburu musuh! Padahal Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita agar membaca al-Qur’ân dengan tartîl (perlahan-lahan). Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Dan bacalah al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan. [al-Muzammil/73:4]

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendorong umatnya untuk giat membaca al-Qur’ân dan menerangkan besarnya pahalanya. Maka, siapakah yang akan menyambutnya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” [2]

Mungkin banyak di antara kita telah mengetahui pahala membaca al-Qur’ân ini. Namun, siapa di antara kita yang selalu berusaha mengamalkannya? Karena tujuan belajar, bukan hanya untuk pengetahuan saja, akan tetapi tujuannya yang tertinggi adalah untuk diamalkan.

Demikian juga dianjurkan untuk membaca al-Qur’ân dengan berjama’ah, yaitu satu orang membaca sedangkan yang lain mendengarkan, sebagaimana kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya.
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah ada sekelompok orang yang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan belajar bersama di antara mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya”. [3]

3. MEMPELAJARI DAN TADABBBUR (MEMPERHATIKAN)
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’ân antara lain dengan hikmah agar manusia memperhatikan ayat-ayatnya, menyimpulkan ilmunya, dan merenungkan rahasianya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan bahwa seukuran fikiran dan akal seseorang, dia akan medapatkan pelajaran dan manfaat dengan kitab (al-Qur’ân) ini”.[4]
Bahkan Allah Azza wa Jalla menantang orang-orang kafir untuk mencari-cari kesalahan al-Qur’ân, jika mereka meragukan bahwa al-Qur’ân datang dari sisi Allah Azza wa Jalla !
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân? kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisâ’/4:82]

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik orang dari umat ini adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Dari Utsman, Nabi bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya”.[5]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Ini adalah sifat orang-orang Mukmin yang mengikuti para Rasul. Mereka adalah orang-orang yang sempurna pada diri mereka dan menyempurnakan orang lain. Dan itu menggabungkan kebaikan untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Ini kebalikan sifat orang-orang kafir yang banyak berbuat kezhaliman. Mereka tidak memberikan manfaat kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain mendapatkan manfaat. Mereka melarang manusia mengikuti al-Qur’ân dan mereka sendiri mendustakan dan menjauhinya.”[6]

4. ITTIBA’ (MENGIKUTI)
Setiap orang sangat membutuhkan rahmat Allah Azza wa Jalla . Namun, apa sarana untuk meraih rahmat-Nya? Mengikuti al-Qur’ân itulah cara mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:
وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan al-Qur`ân itu adalah kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. [al-An’âm/6:155]
Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kebaikan yang besar bagi orang yang mengikuti kitab-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Allah berfirman: “Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thâha/20: 123]

Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla juga memberi ancaman berat bagi orang yang berpaling dari kitab-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآيَاتِ رَبِّهِ ۚ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَىٰ
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat rabbnya. Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.[Thâha/20:124-127]

5. BERHUKUM DENGAN AL-QUR’AN
Sesungguhnya kewajiban pemimpin umat adalah menghukumi rakyat dengan hukum Allah Azza wa Jalla , yaitu berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah. Dan kewajiban rakyat adalah berhukum kepada hukum Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla mencela dengan keras orang-orang yang ingin berhakim kepada thâghût (hukum yang bertentangan dengan hukum Allah).
Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah mengingkari thâghût itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:60]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur’ân) kepada kamu dengan terperinci. Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur’ân itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. [al-An’âm/6:114]

Allah juga berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’ân), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [al-An’âm/6:115]
Firman Allah ”yang benar”, yaitu di dalam berita-beritanya, ” dan adil”, yaitu di dalam hukum-hukumnya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? [al-Mâidah/5:50]

6. MEYAKINI AL-QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN
Allah Azza wa Jalla yang menurunkan kitab al-Qur’ân, memiliki sifat-sifat sempurna. Oleh karena itu, kitab suci-Nya juga sempurna, sehingga cukup di jadikan sebagai pedoman untuk meraih kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga al-Qur’ân cukup sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad n sebagai utusan Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia dan jin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-kitab (al –Qur`ân) sedang ia (al-Qur’ân) dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Qur`ân) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [al-‘Ankabût/29: 51]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tidakkah mencukupi bagi mereka sebuah ayat (tanda kebenaran) bahwa Kami telah menurunkan kepadamu (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sebuah kitab yang agung, yang di dalamnya terdapat berita orang-orang sebelum mereka, berita orang-orang setelah mereka, dan hukum apa yang ada di antara mereka, padahal engkau adalah seorang laki-laki yang ummi (buta huruf), tidak dapat membaca dan menulis, juga tidak pernah bergaul dengan seorang pun dari ahli kitab, kemudian engkau datang kepada mereka dengan membawa berita-berita yang ada di dalam lembaran-lembaran suci zaman dahulu, dengan menjelaskan kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan padanya, dan dengan membawa kebenaran yang nyata, gamblang, dan terang?.” [7]

Karena wahyu Allah Azza wa Jalla sudah mencukupi sebagai pedoman, maka Allah Azza wa Jalla melarang manusia mengikuti pemimpin-pemimpin yang bertentangan dengan wahyu-Nya, Dia berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7:3]

Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dengan keras kepada Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu , ketika dia datang membawa naskah kitab Taurat dan membacanya di hadapan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَ تَّبَعَنِيْ
Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya. Seandainya Musa muncul kepada kamu, lalu kamu mengikutinya, dan kamu meninggalkan aku, sungguh kamu tersesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa hidup dan mendapati kenabianku, dia pasti mengikuti aku. [HR. Ad-Dârimi, no. 435; semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibnu Abi ‘Ashim. Syaikh al-Albâni menghasankannya di dalam Irwâ`ul Ghalîl, no. 1589]

Inilah di antara adab-adab orang beriman terhadap kitab suci al-Qur’ân. Semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mampu mengamalkannya. Al-hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, surat an-Nisâ’ ayat 136, karya Syaikh `Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di
[2]. HR. Tirmidzi no: 2910, dari `Abdullâh bin Mas’ûd. Dishahîhkan Syaikh Sâlim al-Hilâli dalam Bahjatun Nâzhirîn 2/229
[3]. HR. Muslim no: 2699; Abu Dâwud no: 3643; Tirmidzi no: 2646; Ibnu Mâjah no: 225; dan lainnya.
[4]. Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, surat Shâd ayat 29, karya Syaikh `Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di
[5]. HR. Bukhâri, no. 5027; Abu Dâwud, no. 1452; Tirmidzi, no. 2907; dll. Lihat 205.
[6]. Kitab Fadhâilul-Qur’ân, hlm. 206, karya Imam Ibnu Katsîr, dengan penelitian dan takrîj hadits Syaikh Abu Ishâk al-Huwaini, penerbit. Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo.
[7]. Tafsir Ibnu Katsîr, surat al-‘Ankabût/29:51

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari hafidzahullah dengan judul asli Adab Terhadap Al-Qur'an, yang kemudian dengan sedikit perubahan oleh pemosting di postingan ini.


Ada 8 Adab Membaca Kalaamullaah


Hasil gambar untuk al qur'an






 Membaca Al-Qur’an tentu memiliki adab. Karena yang dibaca adalah kalamullah (firman Allah), bukan koran, bukan perkataan makhluk. Di bulan Ramadhan apalagi, adab ini mesti diperhatikan. Karena intensitas berinteraksi dengan Al-Qur’an sangat tinggi di bulan Ramadhan. Dikarenakan para ulama biasa menyambut Ramadhan dengan bulan Al-Qur’an.



Beberapa adab penting yang perlu diperhatikan dalam membaca Al-Qur’an:

 

1- Hendaklah yang membaca Al-Qur’an berniat ikhlas, mengharapkan ridha Allah, bukan berniat ingin cari dunia atau cari pujian.

2- Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut yang bersih. Bau mulut tersebut bisa dibersihkan dengan siwak atau bahan semisalnya.

3- Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Namun jika membacanya dalam keadaan berhadats dibolehkan berdasarkan kesepatakan para ulama.
Catatan: Ini berkaitan dengan masalah membaca, namun untuk menyentuh Al-Qur’an dipersyaratkan harus suci. Dalil yang mendukung hal ini adalah:

عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no. 449. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122).

4- Mengambil tempat yang bersih untuk membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama sangat anjurkan membaca Al-Qur’an di masjid. Di samping masjid adalah tempat yang bersih dan dimuliakan, juga ketika itu dapat meraih fadhilah i’tikaf.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hendaklah setiap orang yang duduk di masjid berniat i’tikaf baik untuk waktu yang lama atau hanya sesaat. Bahkan sudah sepatutnya sejak masuk masjid tersebut sudah berniat untuk i’tikaf. Adab seperti ini sudah sepatutnya diperhatikan dan disebarkan, apalagi pada anak-anak dan orang awam (yang belum paham). Karena mengamalkan seperti itu sudah semakin langka.” (At-Tibyan, hlm. 83).

5- Menghadap kiblat ketika membaca Al-Qur’an. Duduk ketika itu dalam keadaan sakinah dan penuh ketenangan.

6- Memulai membaca Al-Qur’an dengan membaca ta’awudz. Bacaan ta’awudz menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah “a’udzu billahi minasy syaithonir rajiim”. Membaca ta’awudz ini dihukumi sunnah, bukan wajib.
Perintah untuk membaca ta’awudz di sini disebutkan dalam ayat,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

7- Membaca “bismillahir rahmanir rahim” di setiap awal surat selain surat Bara’ah (surat At-Taubah).
Catatan: Memulai pertengahan surat cukup dengan ta’awudz tanpa bismillahir rahmanir rahim.

8- Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan khusyu’ dan berusaha untuk mentadabbur (merenungkan) setiap ayat yang dibaca.
Perintah untuk mentadabburi Al-Qur’an disebutkan dalam ayat,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29)

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hadits yang membicarakan tentang perintah untuk tadabbur banyak sekali. Perkataan ulama salaf pun amat banyak tentang anjuran tersebut. Ada cerita bahwa sekelompok ulama teladan (ulama salaf) yang hanya membaca satu ayat yang terus diulang-ulang dan direnungkan di waktu malam hingga datang Shubuh. Bahkan ada yang membaca Al-Qur’an karena saking mentadabburinya hingga pingsan. Lebih dari itu, ada di antara ulama yang sampai meninggal dunia ketika mentadabburi Al-Qur’an.” (At-Tibyan, hlm. 86)
Diceritakan oleh Imam Nawawi, dari Bahz bin Hakim, bahwasanya Zararah bin Aufa, seorang ulama terkemuka di kalangan tabi’in, ia pernah menjadi imam untuk mereka ketika shalat Shubuh. Zararah membaca surat hingga sampai pada ayat,
فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ (8) فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ (9)
Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit.” (QS. Al-Mudattsir: 8-9). Ketika itu Zararah tersungkur lantas meninggal dunia. Bahz menyatakan bahwa ia menjadi di antara orang yang memikul jenazahnya. (At-Tibyan, hlm. 87)
Ingat nasihat Ibrahim Al-Khawwash bahwa tombo ati (obat hati) ada lima:
  • Membaca Al-Qur’an disertai tadabbur (perenungan)
  • Perut kosong (rajin puasa)
  • Rajin qiyamul lail (shalat malam)
  • Merendahkan diri di waktu sahur
  • Duduk dengan orang-orang shalih.
Adab membaca Al-Qur’an diringkas dari penjelasan Imam Nawawi dalam At-Tibyan, hlm. 80-87. Semoga manfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Bagaimana adab setelah membaca Al-Qur’an? Apakah disyariatkan membaca shadaqallahul ‘azhim? Temukan jawabannya di link: Ucapan Shodaqollahull Adzim untuk penutup tilawah Qurán, Sunnah, apa Bidáh?


Referensi:

At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1426 H. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Tahqiq: Abu ‘Abdillah Ahmad bin Ibrahim Abul ‘Ainain. Penerbit Maktabah Ibnu ‘Abbas.


Diselesaikan menjelang Isya di Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul, 7 Ramadhan 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel: Rumaysho.com  dengan judul asli 8 Adab Membaca Al-Qur'an.

Senin, 25 Desember 2017

Ucapan Shodaqollahull Adzim untuk penutup tilawah Qurán, Sunnah, apa Bidáh?

 Kita sering mendengar setiap kali qori’ membacakan Al Qur’an lantas ditutup dengan ‘shodaqallahul ‘azhim’ (Maha benar Allah dengan segala firman-Nya). Apakah bentuk ucapan seperti ini setelah selesai membaca Al Qur’an itu masyru’ atau terdapat tuntunan dalam Islam?


Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah pernah menjelaskan dalam fatwanya sebagai berikut:
Banyak orang yang membiasakan mengucapkan ‘shodaqollahul ‘azhim’ ketika selesai membaca Al Qur’an Al Karim, padahal sebenarnya amalan ini tidak ada dasarnya (amalan yang diada-adakan yang sering dikenal dalam islam dengan istilah Bid'ah). Tidak boleh membiasakan bacaan ini, bahkan kalau ditimbang-timbang dengan aturan syari’at amalan ini termasuk amalan tanpa tuntunan jika diyakini oleh yang membacanya bahwa aamalan tersebut sunnah. Sehingga sepantasnya amalan itu tidak diteruskan (ditinggalkan). Janganlah dibiasakan karena tidak ada dalil yang mendukungnya. Sedangkan ayat yang menyebutkan,
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ
Ucapkanlah: shodaqallahu[1] bukanlah dimaksudkan untuk hal ini. Ayat tersebut adalah perintah Allah untuk menjelaskan mengenai kebenaran kitab Allah yaitu taurat dan lainnya. Allah pun membenarkan isi Al Qur’an Al ‘Azhim kepada hamba-Nya. Namun sekali lagi, ayat tersebut bukan dalil untuk menyatakan disunnahkannya mengucapkan bacaan tadi setelah membaca Al Qur’an atau setelah membaca beberap ayat atau membaca surat. Karena tidak pendukung pula maksud tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Satu hal lagi yang menguatkan, tatkala Ibnu Mas’ud membacakan awal-awal surat An Nisa’ di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai pada firman Allah,

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”[2] Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Cukup, cukup.” Ibnu Mas’ud ketika itu menoleh dan melihat nabi sedang menangis karena beliau mengingat kedudukan mulia untuknya di hari kiamat yang disebutkan dalam ayat ini, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (wahai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).
 Dan tidak ada satu nukilan dari para ulama -sejauh yang kami ketahui- yang menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud selesai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ‘cukup’, lalu beliau mengucapkan ‘shodaqollahul ‘azhim’.
Intinya, menutup membaca Al Qur’an dengan ucapan ‘shodaqollahul ‘azhim’ tidak ada dasarnya dalam Islam. Namun jika dilakukan kadang-kadang saja karena ada faktor yang menuntut, maka tidaklah mengapa. (Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/215)

Padahal yang ada tuntunan setelah selesai membaca Al Qur’an adalah mengucapkan, “Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik” (Maha suci Engkau, ya Allah sambil memuji-Mu. Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)

Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- duduk di suatu tempat atau membaca Al Qur’an ataupun melaksanakan shalat kecuali beliau akhiri dengan membaca beberapa kalimat”. Aku pun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, tidaklah Anda duduk di suatu tempat, membaca Al Qur’an ataupun mengerjakan shalat melainkan Anda akhiri dengan beberapa kalimat?” Jawaban beliau,
نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْراً خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرّاً كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ [اللَّهُمَّ] وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Betul, barang siapa yang mengucapkan kebaikan maka dengan kalimat tersebut amal tadi akan dipatri dengan kebaikan. Barang siapa yang mengucapkan kejelekan maka kalimat tersebut berfungsi untuk menghapus dosa. Itulah ucapan Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. ” (HR. An Nasai dalam Al Kubro. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Al Jami’ Ash Shahih mimma Laisa fii Ash Shahihain 2: 12 mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang shahih”)
Semoga ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu kita lestarikan dan rutinkan, sedangkan yang tidak ada dasarnya dari beliau itulah yang dijauhi dan ditinggalkan. Sekali lagi, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu waliyyut taufiq.


@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 1 Dzulqo’dah 1433 H
www.rumaysho.com



[1] QS. Ali Imran: 95.
[2] QS. An Nisa’: 41.

Diambil dari artikel rumaysho.com dengan judul asli Ucapan Shodaqollahul Ädzim dengan sedikit tambahan oleh pemosting blogg ini.

Jumat, 22 Desember 2017

Adab Kepada Allah Ta'ala


Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

  Sesungguhnya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Kemana saja seorang hamba mengarahkan pandangannya, dia akan melihat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dihadapannya. Kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah diperoleh hamba-Nya semenjak dia berupa setetes air mani yang bercampur dengan sel telur yang bergantung di dalam rahim ibunya. Kemudian selalu mengiringinya sampai ajal menjemputnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]
Bahkan jika manusia hendak menghitung nikmat-Nya, maka dia tidak akan mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nahl/16:18]

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hak yang menjadi kewajiban para hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut harus diutamakan daripada hak-hak sesama makhluk. Diantara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla dan menjadi kewajiban para hamba yaitu memiliki adab yang baik kepada Allah Azza wa Jalla . Maka wajib bagi seorang hamba memiliki adab-adab sebagai berikut:

1. Iman Dan Tidak Kufur..
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya dan kepada perkara-perkara yang wajib diimani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:136]
Maka sepantasnya seorang hamba beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meyakini kebenaran firman-Nya dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Sungguh tidak beradab ketika ada seorang hamba yang ingkar dan menentang-Nya. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang yang ingkar kepada-Nya dengan celaan yang keras, sebagaimana firman-Nya:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? [al-Baqarah/2: 28]
Termasuk beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah meyakini keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan mengimani nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Demikian juga termasuk syarat iman adalah menjauhi syirik, karena syirik itu menghapuskan amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az-Zumar/39:65]

2. Syukur Dan Tidak Kufur Nikmat.
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambanya sangat banyak, oleh karena itu kewajiban seorang hamba untuk mensyukurinya adalah dengan mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , memuji-Nya dengan lidah, dan mempergunakan nikmat-nikmat tersebut untuk keridhaan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. [al-Baqarah/2:152]
Sungguh tidak beradab, perbuatan mengingkari kenikmatan dan keutaman dari Rabb pemberi kebaikan.

3. Mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Tidak Melupakan-Nya.
Manusia hendaklah selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melupakan-Nya. Karena kewajiban hamba adalah mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kecintaan yang paling tinggi. Seseorang yang mencintai sesuatu, dia akan selalu mengingat dan menyebutnya serta tidak melupakannya. Orang yang melupakan Allah Azza wa Jalla , Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan melupakannya; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membiarkannya dalam kesusahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. [al-Hasyr/59:19]

4. Taat Dan Tidak Bermaksiat
Yaitu selalu berusaha mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (ulama dam umarâ’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ’ / 4:59]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hambanya agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara mutlak, yaitu dengan tanpa meninjau apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan terhadap Al-Qur’an. Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, baik apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam Al-Qur’an atau tidak ada di dalamnya. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitâb dan yang semisalnya bersamanya”. [I’lâmul Muwaqqi’în 2/46, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H /2002 H]

Oleh karena itulah seorang mukmin akan selalu tunduk terhadap keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dari urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb / 33: 36]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum, mencakup semua perkara, yaitu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan (yang menyelisihi ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya)”. [Tafsîr Ibnu Katsîr, Surat al-Ahzâb /33:36]
Sungguh tidak beradab, jika ada seorang hamba yang lemah berani menentang Penguasanya Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa dengan perbuatan maksiat dan kezhaliman.

5. Tidak Mendahului Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Hujurât /49:1]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Maksudnya : ‘Janganlah kamu berkata sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, janganlah kamu memerintah sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah, janganlah kamu berfatwa sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfatwa, janganlah kamu memutuskan perkara sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya.” [I’lâmul Muwaqqi’în, 2/49), penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, Th: 1422 H /2002 H]

6. Takut Terhadap Siksa-Nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. [al-Mâidah/5: 44]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Takut itu ada beberapa macam: Pertama : Takut karena ibadah, merendahkan diri, pengagungan, dan ketundukan. Inilah yang dinamakan khauf sirr. Ini tidak pantas kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Barangsiapa menyekutukan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan takut ini-pen) dia adalah orang yang melakukan syirik akbar. Contoh : Orang yang takut kepada patung, orang yang telah mati, atau orang-orang yang mereka sangka sebagai wali dan mereka yakini bisa mendatangkan manfaat dan bahaya bagi mereka, sebagaimana dilakukan oleh sebagian penyembah kubur, dia takut kepada penghuni kubur melebihi takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala “. [al-Qaulul Mufîd, 2/166; penerbit: Dârul ‘ Âshimah]

7. Malu Kepada-Nya
Seorang muslim akan selalu menyadari bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengawasan-Nya itu meliputi segala sesuatu, termasuk semua keadaannya. Oleh karena itu hatinya penuh dengan rasa hormat dan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dia malu berbuat maksiat dan menyelisihi keridhaan-Nya. Karena bukanlah merupakan adab, ketika seorang hamba menampakkan perbuatan maksiatnya kepada tuannya atau membalas kebaikannya dengan keburukan-keburukan, padahal tuannya selalu mengawasinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan para sahabatnya agar benar-benar merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana dalam hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd, dia berkata: “Rasulullah n bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar merasa malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala !” Kami menjawab: “Wahai Rasulullah, al-hamdulillah kami malu ( kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala )” Beliau bersabda: “Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang dikumpulkannya, menjaga perut dan apa yang dikandungnya, serta mengingat kematian dan kebinasaan. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan ini, maka dia telah malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya [HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh Al-Albâni menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîh at-Targhîb, 3/6, no. 2638, penerbit. Maktabah al-Ma’ârif]
Disebutkan dalam kitab Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi pada penjelasan hadits ini: “Maksudnya adalah menjaga kepala dari penggunaannya untuk selain ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , yaitu engkau tidak sujud kepada selain-Nya, tidak shalat karena riya’, engkau tidak menundukkan kepala untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan engkau tidak mengangkatnya karena sombong. Dan menjaga apa yang dikumpulkan oleh kepala maksudnya adalah menjaga lidah, mata serta telinga dari perkara yang tidak halal.
Menjaga perut maksudnya menjaganya dari makanan yang haram, dan menjaga apa yang berhubungan dengannya maksudnya yaitu kemaluan, kedua kaki, kedua tangan, dan hati. Karena semua anggota badan ini berhubungan dengan rongga perut. Adapun cara menjaganya adalah dengan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat, tetapi digunakan dalam keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengingat kematian dan kebinasaan, maksudnya yaitu engkau mengingat keadaanmu dalam kubur yang sudah menjadi tulang dalam kehidupanmu. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Karena keduanya tidak akan berkumpul dalam bentuk yang sempurna, walaupun bagi orang-orang yang kuat, sebagaimana dikatakan oleh al-Qâri. Adapun al-Munâwi mengatakan: “Karena keduanya seperti dua madu, jika salah satunya dijadikan ridha, yang lain dijadikan marah”

8. Bertaubat Kepada-Nya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa di antara sifat manusia adalah banyak berbuat dosa dan kesalahan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang-orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat. [HR. Tirmidzi, no. 2499; Ibnu Mâjah; Ahmad; ad-Dârimi. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Oleh karena itu sepantasnya seorang manusia agar selalu memperbanyak taubat dan tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendorong orang-orang musyrik yang bergelimang dengan dosa-dosa untuk bertaubat kepada-Nya dengan firman-Nya:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [az-Zumar/39:53]

9. Husnuzhan (Berbaik Sangka) Kepada-Nya.
Termasuk adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berbaik sangka kepada-Nya. Karena merupakan adab dan prasangka yang buruk, ketika seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengawasinya dan tidak akan membalasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu, namun kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka kamu menjadi termasuk orang-orang yang merugi. [Fushshilat/41: 22-23]
Demikian juga termasuk buruk sangka, ketika seorang hamba melakukan ketaqwaan dan ketaatan, lalu dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan membalas amal baiknya.
Inilah sedikit tulisan mengenai sebagian adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita dalam kebaikan. Amin.

RUJUKAN:
1. Minhâjul Muslim, Syaikh Abû Bakar Jâbir al-Jazâiri
2. I’lâmul Muwaqqi’ în, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H / 2002 H
3. Tafsîr Ibnu Katsîr, penerbit: Dârul Jail, Beirut, tanpa tahun.
4. al-Qaulul Mufîd, karya Syaikh al-‘Utsaimin, penerbit: Dârul ‘Ashimah.
5. Shahîh At-Targhîb, karya Syaikh al-Albâni, penerbit Maktabah Al-Ma’ârif.
6. Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi, dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]. Diambil dari Al-Manhaj Or Id dengan judul asli Adab Kepada Allah Azza Wa Jalla.

Jumat, 01 Desember 2017

Adab Seorang Muslim Tentang Niat


Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah Azza wa Jalla sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla karena nifak dan riyâ’nya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu. [HR. Muslim, no. 228]

Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
Dari Abu Sa’îd, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al-Masîhud Dajjâl. Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kamu sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada terhadap Al-Masîhud Dajjâl?” Maka kami menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat pandangan orang lain”. [Hadits Hasan Riwayat Ibnu Mâjah, no; 4204]

Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu banyak sekali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini di dalam hadits-hadits beliau. Antara lain, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhâri, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu]
Sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla akan melihat hati manusia, apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. [HR. Muslim, no. 2564]

Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [al-Bayyinah/98:5]

NIAT DALAM KEBAIKAN
Di antara rahmat dan anugerah Allah Azza wa Jalla adalah bahwa Dia menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat kebaikan, sedangkan keinginan berbuat keburukan belum ditulis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini di dalam hadits sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja.[HR. Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131]

NIAT DALAM KEBURUKAN
Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allah Azza wa Jalla . Namun, jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya: ”Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”. [HR. Bukhâri, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakrah]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا
Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri. [HR. Ibnu Mâjah, no. 2410; Syaikh al-Albâni berkata: “Hasan Shahîh”]

PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT
Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dari Abu Kabsyah al-Anmâri Radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[1]

Syaikh Salim al-Hilâli hafizhahullâh berkata menjelaskan di antara fiqih dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum karena keinginan yang tetap/kuat (di dalam hatinya-pen) walaupun dia tidak mampu melaksanakannya. Karena walaupun dia tidak mampu melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan”.[2]

NIAT BAIK TIDAK MERUBAH KEMAKSIATAN MENJADI KETAATAN
Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah Azza wa Jalla . Demikian juga seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik.
Karena semata-mata niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang bershadaqah dengan uang curian atau korupsi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat). [HR. Muslim, no. 224]

Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah, dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau shadaqah, namun jika tidak memenuhi syarat-syarat di dalam agama, maka niat yang baik itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.
Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini -yang aku lihat kamu lakukan-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbîr, tahlîl, dan tasbîh dengannya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Ini lah para sahabat Nabi kamu masih banyak. Ini lah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah Azza wa Jalla yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla , wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kepada kami:
أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
“Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân itu tidak melewati tenggorokan mereka”.
Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian beliau meninggalkan mereka.[3]

Marilah kita perhatikan jawaban beliau di atas: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Yaitu banyak orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak melewati jalan yang harus dilalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang dia niatkan.
Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.
Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga Allah Azza wa Jalla selalu memberikan pertolongan kepada kita untuk meraih keridhaan-Nya. Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

RUJUKAN:

1. Shahîh Bukhâri
2. Shahîh Muslim
3. Kitab-kitab Sunan
4. Minhâjul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim al-Hilâli
6. Ilmu Ushûl Bida’, karya Syaikh ‘Ali al-Halâbi
7. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits Shahîh Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Mâjah, no: 4228; dan lainnya. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni di dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah, no: 3406. Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253
[2]. Bahjatun Nâzhirin Syarah Riyadhus Shâlihin 1/608, syarah hadits no: 557
[3]. Hadits Shahîh Riwayat Dârimi di dalam Sunan, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasîth, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushul Bida’, hlm. 92

Diakses dari Al-Manhaj.or.id